Selama dua hari terakhir, aparat Satreskrim Polres Bandung yang menangani kasus ini menyita puluhan liter sampel limbah cair dari keempat pabrik tersebut. Polisi yang menyidik kasus ini tengah membidik bos perusahaan tekstil itu sebagai tersangka.
Polisi akan menjerat tersangka dengan Pasal 98 Undang-Undang RI No 32 Tahun 1999 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal itu disebutkan ancaman hukumannya paling singkat tiga tahun penjara dan paling lama 10 tahun penjara. Selain itu, tersangka diharuskan membayar denda paling sedikit Rp 3 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.
"Kasus ini masih dalam pengembangan. Jika hasil pemeriksaan menunjukkan cukup bukti adanya perbuatan melanggar hukum, saat itu juga kami akan menetapkan tersangkanya," kata Kapolres Bandung AKBP Sony Sonjaya didampingi Kasat Reskrim AKP Haerullah di Mapolres Bandung di Soreang, Senin (18/7/2011).
Sony mengatakan puluhan liter sampel limbah cair itu akan dikirimkan ke laboratorium untuk diteliti kandungan racunnya. Secara kasat mata, limbah cair itu ada yang berwarna biru, merah, kuning, tergantung proses pencelupan warna pada aktivitas produksi di keempat pabrik tekstil itu. Selain itu, limbah cair ini menimbulkan bau tak sedap. Keempat pabrik tekstil itu adalah PT IBM, PT WIS, PT TMJP, dan PT HMLY.
Menurut Sony, modus operandi keempat pabrik tekstil itu hampir sama. Limbah industri itu ditampung di sebuah bak, kemudian disedot dengan menggunakan pompa air yang disambungkan ke pipa karet dan diarahkan ke sebuah selokan. Dari selokan ini kemudian mengalir ke Sungai Citarum.
"Jadi limbah cair itu tidak diolah di instalasi pengolahan air limbah terlebih dulu. Limbah cair itu langsung dibuang ke selokan yang mengalir ke Sungai Citarum," ujar Sony.
Diduga praktik ilegal ini telah berlangsung cukup lama. Rata-rata usia pabrik tekstil tersebut telah mencapai puluhan tahun. Meski terbukti membuang limbah tanpa olahan ke Sungai Citarum, aktivitas produksi keempat pabrik tekstil itu masih tetap berjalan.
Kapolres Bandung, AKBP Sony Sonjaya, mengatakan Polres tidak memiliki kewenangan untuk menutup pabrik. Namun keempat pabrik itu, ujar Sony, diwajibkan mengolah terlebih dulu limbah cairnya sebelum dibuang ke saluran air. Jika tetap nekat membuang limbah tanpa olahan, kata Sony, pihaknya menyegel keempat pabrik tekstil itu.
Hingga Senin (18/7/2011), polisi masih memeriksa sejumlah saksi pada kasus ini. Mereka antara lain pengawas pabrik dan petugas instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Untuk mengembangkan kasus ini, penyidik juga akan memeriksa bos keempat pabrik tekstil itu.
Menurut Sony, kasus pencemaran lingkungan di Sungai Citarum yang melibatkan keempat pabrik tekstil ini merupakan puncak gunung es. Pihaknya, kata Sony, meyakini masih banyak pabrik di sepanjang Sungai Citarum yang membuang limbah industrinya ke sungai terbesar di Jawa Barat tersebut.
"Kami berharap peran serta masyarakat. Jika menemukan ada aliran limbah pabrik ke Sungai Citarum, segera laporkan ke polisi. Kami akan melakukan tindakan tegas," ujar Sony.
ANALISIS
Dari kasus diatas bisa kita lihat bahwa kerusakan lingkungan hidup terjadi akibat ulah tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Jika perusakan lingkungan hidup tersebut terus menerus dibiarkan berlangsung, kualitas lingkungan hidup akan semakin parah. Oleh karena itu, manusia sebagai aktor yang paling berperan dalam menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup perlu melakukan upaya yang dapat mengembalikan keseimbangan lingkungan agar kehidupan umat manusia dan makhluk hidup lainnya dapat ber kelanjutan.
Perusahaan
industri mempunyai kewajiban dalam upaya pencegahan timbulnya kerusakan
dan pencemaran terhadap lingkungan hidup sebagaimana telah diatur dalam Pasal 21 UU Perindustrian yang berbunyi:
(1) Perusahaan
industri wajib melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumber
daya alam serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap
lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang dilakukannya
(2) Pemerintah
mengadakan pengaturan dan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan
mengenai pelaksanaan pencegahan kerusakan dan penanggulangan pencemaran
terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri.
(3) Kewajiban
melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikecualikan
bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil.
Menurut
Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU Perindustrian, perusahaan industri yang
didirikan pada suatu tempat, wajib memperhatikan keseimbangan dan
kelestarian sumber daya alam yang dipergunakan dalam proses industrinya
serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan
hidup akibat usaha dan proses industri yang dilakukan. Dampak negatif
dapat berupa gangguan, kerusakan, dan bahaya terhadap keselamatan dan
kesehatan masyarakat di sekelilingnya yang ditimbulkan karena
pencemaran tanah, air, dan udara termasuk kebisingan suara oleh kegiatan
industri. Dalam hal ini, Pemerintah perlu mengadakan pengaturan dan pembinaan untuk menanggulanginya.
Perbuatan
yang bertentangan dengan Pasal 21 ayat (1) UU Perindustrian, jika
dilakukan dengan sengaja, dapat dipidana penjara selama-lamanya 10
(sepuluh) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp100.000.000,-
(seratus juta rupiah) (Pasal 27 ayat (1) UU Perindustrian).
Sedangkan jika dilakukan tidak dengan sengaja atau karena kelalaian,
maka dapat dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau
denda sebanyak-banyaknya Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) (Pasal 27 ayat (2) UU Perindustrian).
Selain pengaturan pada UU Perindustrian, menurut Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UUPPLH”):
“Setiap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan
melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib
membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan (perusahaan/badan hukum) yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tersebut memiliki tanggung jawab untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan, sejauh terbukti telah melakukan perbuatan pencemaran dan/atau perusakan. Pembuktian tersebut baik itu nyata adanya hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian (liability based on faults) maupun tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan (liability without faults/strict liability) (Pasal 88 UUPPLH).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya setiap pendirian perusahaan industri perlu mempertimbangkan berbagai aspek, yakni pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang dilakukannya.
Referensi
http://www.tribunnews.com/regional/2011/07/19/bos-tekstil-terancam-10-tahun-penjara
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51c8753fef0ba/dasar-hukum-kewajiban-perusahaan-menjaga-lingkungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar